Usia remaja, banyak
orang orang bilang bahwa masa masa dimana manusia sangat membenci aturan,
menganggap semua yang dilakukannya benar dan mungkin membenarkan segala sesuatu
yang pada hakikatnya sesuatu itu salah,hal-hal seperti itu pasti terjadi pada setiap
orang,dan aku salah satunya korbannya.
Namaku Radit, saat itu
usiaku lima belas tahun, disaat teman temanku sudah sibuk memikirkan dimana
mereka akan melanjutkan sekolah, aku seorang diri masih bingung memikirkan “Apakah
hanya sekolah berkualitas yang menghasilkan murid-murid berkualitas? Ataukah
murid berkualitas yang membuat sekolahnya berkualitas? ”
Dari pemikiran itu
mungkin banyak orang-orang berfikiran bahwa aku adalah orang yang aneh,
layaknya ingin berenang di lautan dan berkata “apakah lautan itu dalam?”
Aku sempat mengkikuti tes masuk disalah satu madrasah
di kotaku dan BOOM… dengan hanya
bermodalkan nekat, aku pun diterima, tapi sayangnya orang tuaku tidak
mengizinkanku dan telah lebih dulu mendaftarkanku di salah satu sekolah yang
berada jauh dari pusat kota. Jujur aku tidak sedikitpun menyesal dengan
keputusan itu, karena aku berfikir bahwa restu orang tua itu sangat berharga,
lagian tugasku kan hanya sekolah, belajar atau tidaknya yaa… urusan belakangan.
Juli 2020, hari dimana
aku pertama kali menjadi murid sekolah menengah atas, disaat itu sistem belajar
masih dangan cara jarak jauh. Tidak ada yang sepesial, terasa hampa, dan aku
merasa bahwa sekolah ini tidak seperti sekolah pada umumnya, dimana saat guru
bertanya disana ada murid yang menjawab.
Di laptopku hanya
terdengar suara guru yang menjelaskan pelajaran tanpa ada murid yang ingin
bertanya ataupun menjawab, disaat guru mempersilahkan murid murid untuk
memberikan suara, disaat itulah ruangan zoom kelas terasa sangat hampa, aku
kira itu hal yang wajar karena saat itu pembelajaran yang dilakukan tidak
efektf, dan muncul pemikiran baru di dalam kepalaku
“Jika kemajuan teknologi membuat manusia menjadi
manusia pemalas artinya kemajuan teknologi harus dihentikan untuk menyelamatkan
manusia dari sifat malas.”
Satu bulan dengan
pembelajaran yang membosankan pun berlalu, sekolah sudah mengeluarkan suar izin
untuk melakukan pembelajaran tatap muka, lagi dan lagi aku berfikir bahwa
mengapa saat mendengar kata sekolah, aku hanya terpikirkan akan sebuah tempat
yang membosankan.
Satu malam sebelum
masuk sekolah, orang tuaku sibuk menyuruhku mempersiapkan barang-barang untuk
perbekalanku saat disekolah
“Kalo abang
nanti sekolah bakalan sepi dong rumah kita” ujar ibu membuka topik sambil
membantu mengemasi barang barangku
“Nanti kan
juga bisa kunjungan bu, lagian kan cuma beberapa bulan ntar juga pulang”
balasku sambil tersenyum
“yahh… kan itu kan bukan waktu yang sebentar bang”
“iya deh iya,
ntar bisa telponan, tapi kalo ibu kangen nanti telpon aja kepala sekolahnya
suruh abang pulang” jawabku sambil bergurau.
Percakapan bersama ibu
pada malam itu adalah percakapan paling hangat yang pernah kurasakan, tapi barang-barangku
sudah selesai dikemas, dan percakapan hangat bersama ibu pun juga ikut selesai.
“Nanti di
sekolah jangan nakal ya,belajar yang giat dan jangan lupa berdoa sebelum abang
mau ngelakuin sesuatu supaya segala sesuatunya nanti bisa dipermudah sama Allah
disana” ujar ibu sebelum benar benar menutup percakapan
Hari itu pun telah
tiba, aku bangun dan bersiap lebih pagi dari biasanya karena jarak dari rumahku
ke sekolah tidak bisa dibilang dekat. Ayah, ibu, serta adikku pun juga tidak
kalah bangun pagi hanya demi mengantarkanku ke sekolah
Kami berangkat sebelum
matahari menampakkan dirinya, banyak rumah warga yang kami lewati, aku suka
membayangkan posisiku berada di dalam rumah-rumah mereka, memang rumahnya tidak
besar tapi aku sangat membayangkan besarnya kehangatan yang berada di dalamnya.
“Kamu nanti
bakal bertemu sama teman-teman dari berbagai daerah jadi usahain beradaptasi
sama mereka.” ujar ayah sambil fokus mengendarai mobil
“Jangan lupa juga
buat atur egonya bang, ngga setiap orang punya pemikiran yang sama seperti
abang, jadi belajar buat terima semua masukan ya.” Tambah ibu
Aku hanya mengangguk
sambil memperhatikan rumah-rumah warga yang telah dilewati.
Beberapa menit kemudian
aku sampai di sekolah, murid-murid baru dibariskan di lapangan dan para orang
tua murid dikumpulkan di atu tempat untuk mengikuti rapat orang tua, aku
bertemu banyak orang dan benar sepert kata ayah, aku tidak hanya bertemu orang
orang dari daerah dan kota ku saja, tetapi aku juga bertemu dari teman teman
dari kota lain. Mungkin kalian pasti berfikir aku adalah orang yang superaktif
dan percaya diri, tetapi sifat sifat itu tidak ada di dalam kamusku dahulu
Memasuki Sekolah
Menengah Atas, aku adalah salah satu orang yang pendiam, tidak suka dengan
keramaian, dan sering mementingkan ego sendiri dibandingkan orang lain.
Beruntungnya salah satu murid juga berasal dari SMP negeri layaknya diriku,
dari sanalah aku mulai berfikir bahwa aku tidak sendirian, karena yang aku tahu
sekolah ini memiliki sekolah menengah pertama juga, jadi ada sebagian siswa
yang sudah saling mengenal dikarenakan bersekolah di SMP yang sama.
Sesi perkenalan diri
pun di mulai, satu per satu siswa mulai maju dan memperkenalkan diri , dan di
saat diriku memperkenalkan diri, aku merasa bahwa aku memang benar benar tidak
bisa beradaptasi dengan murid-murid di sekolah ini, karana disaat aku maju memperkenalkan
diri aku melihat bahwa, mereka yang telah saling mengenal hanya asik mengobrol
bersama, sedangkan yang pendiam malah dibiarkan sendiri begitu saja, layaknya
sekolah hanya untuk mereka yang saling mengenal saja, dan di saat ada salah
satu murid yang maju melakukan kesalahan maka mereka menyorakinya secara
bersamaan.
Setelah semua murid
memperkenalkan diri, saatnya guru-guru memperkenalkan diri dan menjelaskan tata
tertib di sekolah ini, jujur aku tidak terlalu menyukai tata tertib
sekolah,karena dari pengalamanku, sebanyak apapun aturan yang dibuat, pasti ada
saja siswa yang melakukan pelanggaran bahkan berulang kali.
Beberapa jam berlalu,
sesi perkenalan diri dan penjelasan tata tertib selesai. Kami di berikan
beberapa lembar modul dan buku tata tertib untuk dipelajari dan kami pun di
perbolehkan bertemu dengan orang tua kami untuk bersalaman dan mengantarkan
mereka pulang.
“Belajar yang
baik ya bang, jangan nakal-nakal di sini.” Ucap ibu sambil memberi salam
perpisahan
Ayah dan adikku tidak
berkata-kata lagi, mungkin semua yang ingin disampaikan oleh ayah, telah
tersampaikan di perjalanan menuju tempat ini. Setelah memberikan salam
perpisahan, ayah, ibu, dan adikku naik keatas mobil dan perlahan suara mobil
mulai menjauhi sekolah. Di saat itulah kisah senang, sedih, gelisah dan seluruh
perasaan yang berada di sekolah itu dimulai.
26 Agustus 2020, hari
pertama sekolah melakukan pembelajaran efektif, aku dan seluruh warga asrama di
bangunkan pukul tiga pagi, mempersiapkan segala perlengkpan sekolah dan juga
perlengkapan untuk kegiatan sehari penuh. Setelah aku mempersiapkan
perlengkapan, aku langsung menuju ke kamar mandi, antrian panjang kamar mandi
pukul tiga pagi sepertinya sudah menjadi hal biasa disini, tetapi yang lebih
menyenangkan adalah meihat murid-murid mengobrol dan saling tertawa di dalam
antrian sepanjang ini. Aku hanya berfikir “sepertinya aku nggak bisa ngikiutin topik
mereka, yaa… mungkin karena belum ada yang aku kenal juga kali, ditambah nanti
dibilang sok asik kalo tiba-tiba buka suara.” Jadi aku memilih untuk tetap
diam, sampai salah murid datang
“hoi dit, masih ingat nggak sama aku?”
Aku sepertinya masih
mengenal suara itu, saat aku menoleh ke antrian belakang, aku ingat dengan
orang itu. Dia desta, teman satu sekolah sewaktu aku masih sekolah dasar,
“Oii Des, udah
lama ngga ketemu, perasaan dulu badanmu masih kecil.” ujarku sambil bergurau
“Ishh ngga lah, kan aku juga tumbuh.”
Sebelum aku
mengalihkan topik untuk bertanya kepadanya tentang masa SMP, senior kami
memperingatkan bahwa giliranku untuk masuk ke dalam kamar mandi, dan senior
kami pun mengkingatkan durasi memakai kamar mandi hanya dua hingga 5 menit,
jujur aku sedikit kaget dengan peraturan itu, mungkin karena ini kali pertama
aku merasakan kehidupan asrama, dan Alhamdulillah tidak sampai lima menit aku
sudah keluar dari kamar mandi dan bergegas kembali ke asrama.
Setelah aku masuk ke
kamar, aku cukup kaget dengan keadaan kamar itu, kotor, berantakan, dan
tumpahan makanan dimana mana, padahal ini baru hari kedua aku berada di asrama,
aku sudah berprasangka buruk karena dari firasatku selama masa orientasi siswa
beberapa hari yang lalu, aku berfirasat bahwa murid-murid lama dari sekolah ini
bisa dikatakan murid-murid yang sedikit nakal karena saat guru memperingatkan
mereka, mereka malah membalas perkatan guru-guru tersebut. Entah aku yang tidak
terbiasa atau memang sudah menjadi kebiasaan di sekolah ini, karena
sepengalamanku di smp, guru akan bertindak lebih keras apabila kami menjawab
perkataan mereka. Tapi yah sudahlah, aku memutuskan untuk membereskan kamar
itu.
Jam apel pagi di mulai
pukul enam lewat tiga puluh, jadi setiap murid diharuskan keluar dari asrama
pukul enam pagi, sebelum pergi ke lapangan kami berkumpul dahulu di tempat
makan, lagi dan lagi aku tidak memiliki teman untuk di ajak mengobrol, hanya
Desta teman satu-satu satunya yang aku kenal dan di depan mataku telah
berkumpul murid-murid lama, mereka hanya berkumpul bersama mereka, tidak
terpikir oleh mereka untuk mengobrol dengan kami para murid baru. Saat makanku
hampir selesai ada seseorang yang tiba-tiba menyapaku
“Eh, kau dari
SMP negeri juga tu ya, salam kenal aku Vikrom yang samaan dari smp negeri juga.”
“Eh… iya salam
kenal juga, aku radit, dari kamar sebelah kamarmu.”
Aku sering melihat dia
di asrama, dan kamarnya pun bersampingan dengan kamarku. Jujur aku sedikit iri
saat melihat kondisi kamar mereka saat pertama kali masuk asrama, mereka telah
saling mengenal satu sama lain, dan tidak ada perbedaan diantara mereka.
Menurutku memiliki teman-teman yang dapat membuat kita beradaptasi adalah sebuah
hal yang istimewa di sekolah ini. Sambil menerka-nerka, aku berpikir sepertinya
dia berasal dari luar kota, karena bahasa yang kami gunakan sebagian besar kami
memakai bahasa daerah daripada bahasa indinesia.
“Aku dari luar
kota, mungkin agak sulit bicara pakai bahasa indinesia nya, jadi maaf ya kalo
misalnya ada kata-kata ku yang mungkin ngga berkenan.” jawabnya sambil sedikit
tertawa
“Gapapa, kami
juga di kota ngga pake bahasa indonesia melulu,biasanya juga pake bahasa daerah.”
ujarku, ternyata dugaanku benar
Sambil
menghabiskan makanan aku bertanya kepadanya masalah SMP seperti yang ingin
kutanyakan kepada desta kemarin
“Jadi gimana
rasanya ngubah haluan dari yang awalnya sekolah pulang cepat jadi sekolah
asrama?”
“Ga terlalu
sulit sih, soalnya dulu aku waktu SMP juga punya kebiasaan kek gini, Cuma yang
agak sulitnya pisah sama orang tua. Yaa… mungkin aku juga udah terbiasa hidup
sama orang tua jadinya gitu.”
“Oh mungin
gara-gara masih awal aja kali tu makanya kita belum terniasa, mungkin ntar lama
kelamaan pasti terbiasa.”
Bel tanda akan dimulai
apel pagi telah berbunyi, para guru-guru kami pun menyuruh kami untuk cepat
menuju ke lapangan, mereka mulai berhitung dari satu hingga sepulu, apabila
hitungan telah lewat dari sepuluh maka murid-murid yang belum masuk ke lapangan
terhitung terlambat.
Pukul tujuh lewat
sepuluh menit, aku mulai merasa apel pagi ini sangat membosankan, tetapi hal
yang anehnya, para murid-murid lama sudah mulai mengobrol bersama kami, kami
berkali-kali diperingatkan guru untuk diam, tetapi para murid-murid lama itu seperti
tidak mendengarkan kata-kata guru. Aku tidak tahu apakah mereka memang
benar-benar ingin mengajak kami untuk mengobrol atau hanya menjadikan kami
bahan candaan diantara topik pembicaraan mereka, karena aku merasa dipermainkan
saat berbicara dengan mereka. Tetapi aku teringat kata kata ayah kalo mereka
itu berasal dari berbagai daerah, jadi mungkin caraku dan cara mereka berbeda.
Percakapan bersama mereka pun berakhir saat jam apel pagi selesai, sungguh
perkenalan diri di waktu yang tidak tepat, tapi mungkin bakal perkenalan diri
di kelas lagi kan. Setidaknya aku udah kenal dengan sebagian orang disini.
Jam pertama di kelas
di bimbing oleh wali kelas kami sendiri, jam pertama diisi dengan perkenalan
teman-teman di kelas dan juga perkenalan dengan wali kelas. Tidak ada yang
special, perkenalan ini sama seperti perkenalan sekolah pada umumnya.
“Saya sebagai
wali kelas kalian dan pengajar guru bahasa arab di kelas ini, jadi tolong
kuasai bahasa arab supaya kalian dapat berkomunikasi dengan saya ya, mungkin
itu wajib untuk kelas ini, karena yang membimbingnya kan saya sendiri, oke?”
“oke pak”
jawab para murid-murid
Aku tidak berasal dari
sekolah yang tidak memiliki kemampuan dasar bahasa arab, aku hanya berasal dari
sekolah negeri, jadi aku kira normal saja kalo semisalnya aku berkomunikasi
dengan guru bahasa arab menggunakan bahasa Indonesia. Tetapi guru itu berkata
bahwa seluruh siswa diwajibkan untuk bisa berkomunikasi dengan bahasa arab
dalam dua bulan kedepan jadi tidak ada pengkhususan.
Jam perkenalan telah
usai, diganti dengan jam pelajaran, aku kira hari ini akan penuh dengan
refreshing karena kondisi kami yang baru pertama kali masuk sekolah, ternyata
hari ini dipenuhi dengan pelajaran, pelajaran pertama adalah matematika, guru
tersebut memperkenalkan diri dan berkata bahwa ia juga mengajar di sekolah
lain. Setelah ia memperkenalkan diri, kami langsung memulai pembelajaran. Aku
memiliki sedikit kemampuan di bidang matematika, jadi aku kira tidak ada
salahnya untukku terus menjawab persoalan yang ditanyakan oleh guru dan begitu
pula dengan pelajaran selanjutnya, guru memperkenalkan diri dan aku terus
melahap segala pertanyaan guru, kelas ini sangat pendiam, entah mereka tidak
bisa menjawab atau memang mereka malas untuk menjawab. Ketika aku maju untuk menjawab
pertanyaan guru dari sudut kiri kelas, murid-murid lama berkumpul sambil
melihat ke arahku. Aku kira itu hal yang normal di sekolah ini.
Bel jam istrahat telah
berbunyi, salah satu murid lama mendekatiku sebelum aku keluar kelas dan
mengajakku untuk mengobrol, aku tidak tahu apa aksud dari obrolan ini tetapi
sepertinya asik bisa berkomunikasi dengan murid-murid lama di sekolah ini.
“Assalamu’alaikum,
kamu radit yang dari sekolah negeri itu ya?” ucapnya sambil menarik kursi ke
sebelahku
“Wa’alaikumsalam, oh
iya salam kenal ya aku murid baru di sekolah ni”
“Aku hisyam,
aku minta tolong beradaptasi dengan kondisi kelas ini ya”
Setelah mengucapkan
kata-kata itu, ia langsung pergi bersama murid-murid lama yang telah
menunggunya di depan pintu kelas. Aku cukup bingung dengan apa yang
dikatakannya, apakah itu sebuah sindiran atau peringatan, aku pun tidak tahu,
aku kesampingkan pemikiran itu.
Beberapa jam berlalu,
pelajaran berjalan seerti biasa, dimana guru-guru memperkenalkan diri dan
memberikan soal, aku tidak tau apa yang dipikirkan oleh kelas ini, mengaoa
mereka sangat pendiam, dan mengapa murid-murid lama terus melihatku dengan
tatapan sinis. Hingga saat jam pulang tiba, mereka masih melihatku dengan
tatapan itu. Aku pulang dan langsung menuju kelas Vikrom, satu-satunya teman
yang aku kenal, aku bercerita tentang bagaimana kondisi kelas saat ini dan
ternyata pada hari pertama masuk sekolah aku telah dijuluki oleh murid-murid
lama dengan sebutan “Si Caper”. Jujur aku sedikit kaget dbingung, apakah aku
melakukan hal yang salah? Tetapi aku kira normal saja apabila guru-guru bertaya
dan aku menjawab, daripada tidak ada yang menjawab.
Keesokan harinya,
julukan yang diberikan murid-murid lama itu mulai tersebar dalam satu angkatan
kami, dan saat aku maju ke depan kelas, mereka mulai memanggilku dengan julukan
itu, aku tidak keberatan dengan hal itu selagi mereka belum melewati batas.
Hingga beberapa hari berlalu dimana pada hari itu kesabarnku mulai hilang,
mereka terus memanggilku hingga hampir satu sekolah tau.
Pagi hari, disaat
murid-murid sedang sarapan. Salah satu Hisyam beserta murid-murid lama lainnya
datang menghampiriku. Jangankan berbicara, melihat batang hidungnya saja sudah
membuatku muak dengan mereka. Aku memalingkan pandangan dari mereka, tetapi ada
salah satu murid lama yang mendekatiku, lagi.
“Assalamualaikum
Si Caper.” ucapnya sambil mengejekku
Aku hanya berfikir
bahwa salam itu wajib untuk dijawab, jadi aku memilih untuk menjawab salam itu
walaupun aku terlihat bodoh apabila menjawab sapaannya.
“Jadi gimana
pelajaran di sekolah nanti? Mau caper ke guru mana lagi?”
Aku memilih untuk
masih bersabar dan tidak menajawab pertanyaannya, hingga seluruh murid-murid
lama itu ikut mengejek dan mentertawakan diriku, disaat itulah kesabaranku
telah hilang. Semua kata-kata kotor keluar dari mulutku, aku seperti
mengeluarkan seluruh amarah yang ingin aku keluarkan. Ia pun juga mulai kesal
saat aku berate seperti itu.
“Kek mana kalo
kita selesain malam ni.” ucapnya sambil menanatangku, dan aku yang merasa
tertantang pun menerima tantangannya tanpa banyak fikir.
Bel sekolah telah
berbunyi, murid-murid sudah masuk ke dalam kelas, tetapi aku tidak melihat para
murid murid lama di kelas itu, sepertinya mereka ingin merencanakan seusatu
yang besar malam ini. Sejujurnya aku tidak memperdulikan mereka, dan fokus
dengan pelajaran seperti biasanya.
Pagi menuju malam serasa
cepat sekali hari ini, aku cukup tenang hari ini karena tidak bertemu dengan
murid-murid lama itu, saat aku ingin menuju ke kamar asrama, hisyam datang
menemuiku dan berbincang layaknya seorang teman dekat, lagi-lagi aku tidak tau
apa yang direncanakan olehnya. Dan tanpa tersadar aku pun tenggelam di dalam
topic pembicaraannya, ia banyak menanyakan masalah tadi pagi, aku yang awalnya
berhati-hati berbicara kepadanya, perlahan mengeluarkan segala sesuatu yang
ingin aku bicarakan kepada murid-muri lama.
“Kamu jangan
gitu dong, kamu harus lebih sabar lagi dan harus lebih bisa beradaptasi di
sekolah ini, nanti aku coba omongin sama temenku supaya kalian bisa nyelesain
hal ini secara baik-baik”
Aku percaya saja
dengan perkataannya, dan sepertinya aku memang harus lebih sabar dengan
keadaan, tetapi di dalam pikiranku bertanya Tanya, “apakah ia merasakan apa
yang aku rasakan?”, tetapi aku kesampingkan pemikiran itu dan hanya
mendengarkan apa yang dikatakan oleh hisyam.
Adzan sholat magrib
berkumandang, seluruh murid sekolah berkumpul di masjid, dan itulah kali
pertama aku melihat murid-murid lama berkumpul pada hari itu, Aku duduk jauh
dari mereka, dan aku melihat Hisyam seperti sedang membicarakan masalah tadi
pagi dan sepertinya memohon untuk menyelesaikan masalah ini secara baik-baik,
tetapi yang kulihat seluruh murid lama sekolah itu sepertinya menolak dan lebih
memilih untuk menyelesaikannya dengan cara mereka.
Pukul sebelas malam,
seluruh siswa pulang dari masjid menuju asrama. Sesampai di asrama aku tidak
melihat murid-murid lama itu di kamar asrama, padahal jam segini kami sudah
diwajibkan untuk berada di dalam asrama. Satu jam kemudian, disaat seluruh
lampu asrama telah dimatikan, Hisyam beserta murid-murid lama lainnya memasuki
kamar kami dan kebetulan sebagian isi kamar telah tertidur lelap.
“Jadi mau kita
selesain sekarang?” ujar salah satu murid lama yang aku marai tadi pagi
Aku baru ingat,
namanya Ridho, ia salah satu murid lama dari sekolah ini yang katanya cukup
berprestasi dalam bidang olahraga. Aku berdiri dari tempat tidur, sebelum aku
ingin menyelesaikan masalah bersamanya, para murid-murid lama itu memastikan
seluruh teman temannya dari kamar berbeda telah masuk ke dalam kamarku untuk
menonton kami. Seuruh teman-teman di dalam kamrku pun ikut terbangun karena
keributan yang telah mereka perbuat. Pintu telah dikunci dan lampu telah
dimatikan, tanpa piker panjang lagi aku langsung menerima tantangan darinya.
“Pastikan kau
ngga melapor ke guru tentang peristiwa mala mini” ucapnya sambil dibantu dengan
teman-temannya yang sedang menonton. Aku pun setuju dengan gertakannya dan aku
menggertaknya balik
“pastikan juga
kau ngga melapor ke guru dan pastikan nama aku bersih setelah kejadian ini”
gertakku balik
Hisyam maju ke antara
kami, ia tidak membelaku dan tidak berbicara denganku layaknya teman deperti
tadi sore, ia malah makin memanaskan keadaan kami dan bersikap layaknya wasit
dalam pertandingan tinju. Jam telah menunjukkan pukul dua belas malam, akhirnya aku memutuskan
untuk tidak menyelesaikan masalah ini dengan cara baik-baik, tapi lebih memilih
menyelesaikan masalah ini secara emosi dan perkelahian, begitu juga dengan
Ridho, teman-temannya pun semakin memanaskan keadaan kami. Aku tidak memikirkan
apapun malam itu, aku tidak memikirkan kamar sebelah yang mendengar, aku tidak
memikirkan apakah asrama dibelakang asrama kami yang berisi adik kelas juga
mendengar perkelahian kami, aku hanya berfikir apapun yang terjadi, aku harus
menyelesaikan masalah malam ini juga, agar aku dapat belajar dengan tenang
kedepannnya.
Selang setengah jam
kemudian, senior kami yang bertugas menjaga keamanan asrama mendengar kejadian
itu dan langsung menggedor pintu kamar kami, ridho dan para murid lama segera
kembali ke temat tidur untuk bersembunyi dan aku pun juga ikut kembali ke
tempat tidur.
“kenapa tadi
ada suara ribut di kamar ini?” sambil menepuk pintu kamar kami
Kami semua memilih
untuk diam dan tidak menjawab pertanyaan senior kami itu. Mata senior satu itu
memandang sinis ke arahku, karena mataku yang mulai memerah.
“mata kau
kenapa merah?” aku masih memilih untuk diam.
“apapun yang
terjadi mala mini abang akan cari tau kejadiannya, dan abang beserta petugas
keamanan yang lain akan memberi efek jera kepada kalian”
Senior kami keluar
dari kamar asrama, keadaan di dalam asrama masih tegang dengan apa yang kami
lakukan tadi. Akhirnya aku dapat berfikir jernih, aku datang ke tempat tidur
Ridho dan memninta maaf kepadanya, aku mengakui kesalahanku karena tidak bisa
menahan diri dan telah berbicara kotor kepada mereka, mereka pun juga meminta
maaf kepadaku karena telah mengejek dan menjulukiku dengan sebutan “Si Caper”,
kami telah memutuskan untuk tidak membicarakan kejadian malam ini kepada
siapapun.
Keesokan harinya, saat
sarapan pagi, banyak siswa ang bertanya-tanya tentang keributan yang berasal
dari asrama kami tadi malam, aku hanya mendengarkan perkataan mereka pagi itu,
Vikrom pun bertanya kepadaku apa yang telah terjadi dari kamarku tadi malam,
dan aku lagi-lagi memilih untuk diam dan tidak membocorkan masalah tadi malam.
Saat apel pagi, pembina apel kami pun menyindir masalah berkelahi, banyak
guru-guru yang membicarakan keributan tadi malam, dan sepertinya keributan tadi
malam telah menjadi topik panas hari ini. Guru-guru di sekolah pun juga
membicarakan masalah itu, tetapi aku dan rombongan Ridho masih memilih untuk
diam. Hingga sore hari, kami berdua dipanggil untuk mengadap ke guru bimbingan
konseling, aku dan Ridho telah berjanji untuk tidak membicarakan masalah ini
kepada siapapun, tetapi entah darimana guru bimbingan konseling itu mendengar
fakta tentang perkelahian tadi malam, yang pastinya ia sangat marah dengan kami
berdua dan memutuskan untuk memberikan kami surat peringatan satu agar kami
mendapatkan efek jera atas apa yang tekah kami perbuat. Aku tidak menebak nebak
siapa orang yang telah melaporkan kepada guru, yang ada dalam pikiranku hanya
satu, senior keamanan yang melihat mataku tadi malam.
Sepulang kami dari
ruang bimbingan konseling, kami telah ditunggu oleh senior keamanan, dan kami
berdua dimarahi habis oleh senior satu itu, tetapi dari kejadian ini,
hubunganku dengan rombongan Ridho yang dulu aku panggil dengan sebutan
“Murid-murid lama” semakin erat, memang benar kata-kata orang dahulu
“Suatu masalah terkadang akan membuat hubungan
seseorang lebih erat dan saling mengenal satu sama lain.”
Setelah kejadian hari
itu, aku jadi lebih sering bermain bersama mereka, bolos saat jam pelajaran,
dan kami hanya memikirkan bahwa sekolah adalah hal sampingan yang harus
dilakukan. Hingga salah satu teman ridho membuat kesalahan yang tidak bisa aku
maafkan, ia mulai lagi untuk mengejek dan merendahkanku, aku berniat untuk
menyelesaikan masalah dengan cara yang sama saat aku berhadapan dengan ridho,
tetapi orang tua ku telah mendengar tentang kenakalanku di sekolah itu lebih
dulu sebelum aku dapat menyelesaikan masalah bersama teman Ridho, aku dipanggil
lagi oleh guru bimbingan konseling dan mereka membicarakan masalah kenakalanku
di sekolah itu bersama orang tua ku, di ruang vimbingan konesling, ibuku sempat
menangis mendengar segala kasus dan perbuatan yang telah aku lakukan di sekolah
itu, sejujurnya aku sangat panik dan ingin menangis saat melihat ibuku menangis
di hadapanku, beruntungnya aku tidak mendapatkan surat peringatan lagi oleh
guru bimbingan konseling tetapi orang tua ku memutuskan untuk mengeluarkanku
dari sekolah itu karena banyak kasus yang telah kuperbuat.
Ridho, Hisyam bersama
teman-temannya yang lain meminta maaf atas perbuatan yang telah mereka perbuat dan
memberi salam perpisahan denganku, tetapi aku tidak melihat teman ridho yang
telah merendahkanku. Aku tidak memiliki kewajiban untuk mencarinya dan tanpa
pikir panjang aku melangkah keluar dari sekolah itu dan memutuskan untuk
memulai kehidupan baru dengan cara yang baru. Aku sangat bersyukur atas segala
keneangan tentang kesenangan, kesedihan, dan segala sesuatu yang Allah telah
berikan kepadaku di sekolah itu, banyak pelajaran yang bisa kudapat mulai dari
berfikir dewasa, menjaga perkataanku, mengatur emosiku, mengahrgai sesama,
tidak membesarkan sesuatu yang kecil, dan aku juga belajar bahwa
“Tidak semua masa lalu yang buruk melahirkan manusia
yang buruk pula, segala sesuatu itu tergantung bagaimana cara seeseorang
menyikapinya”
Aku bukan manusia
manusia yang baik dan tidak memiliki masa lalu yang baik pula, tetapi masa lalu
itulah yang mendorongku untuk menjadi lebih baik, dan aku bermimpi untuk dapat
mebayarkan air mata ibu dengan kesuksesanku di masa depan.
Bersambung
BAGUSSSS KEREN 👏👏
BalasHapus